PERINGATAN: Artikel berikut terbilang panjang. Saya harap Anda sabar membacanya hingga tuntas. SAYA membayangkan di layar muncul wajah Jakarta di awal 1960-an.
Slogan anti nekolim bertebaran. Juga potret Bung Karno. Ada rakyat miskin di jalanan Jakarta. Juga ada lambang PKI, potret Marx, dan Lenin, diusung simpatisan PKI yang sedang berparade dekat istana.
Dari Jakarta yang riuh beralih ke istana yang asri. Hijau. Bersih. Penuh bunga. Sukarno yang sudah berusia lewat paruh baya di awal tahun 1960-an sedang bersama seorang wartawati asal Amerika, Cindy Adams.
Cindy tengah menulis otobiografi Sukarno yang kita kemudian kenal edisi Indonesia bukunya dengan judul Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Kepada Cindy, Soekarno menceritakan asal usulnya, dalam bahasa Inggris yang fasih, penuh wibawa, yang kira-kira terjemahannya seperti apa yang ditulis di bukunya:
"Aku adalah putra seorang ibu Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idayu, berasal dari kasta tinggi Raja terakhir Singaraja adalah paman Ibuku. Bapakku dari Jawa. Nama lengkapnya adalah Raden Sukemi Sosrodiharjo. Raden adalah gelar bangsawan yang berarti "Tuan". Bapak adalah keturunan Sultan Kediri...
"Apakah itu kebetulan atau suatu pertanda bahwa aku dilahirkan dalam kelas yang memerintah, akan tetapi apa pun kelahiranku atau suratan takdir, pengabdian bagi kemerdekaan rakyatku bukan suatu keputusan tiba-tiba.
Akulah ahli warisnya."
Setelah momen itu diperlihatkan Bung Karno dan Cindy kian intens bicara. Tapi di suatu saat Cindy terlihat gusar.
Sudah beberapa minggu ia memancing Bung Karno agar bicara topik yang ingin ia bincangkan. Bung Karno tampak tak bisa lagi menghindar. Setelah beberapa minggu, Cindy Adams berhasil membujuk si Bung Besar.
Sambil duduk, atau mungkin juga sambil berdiri setelah lama berkeliling taman di istana, dengan tegas, yang menjadi ciri khas watak Cindy, mengajukan pertanyaan yang tak bisa dielak:
"Benar atau tidak bahwa Anda menawarkan beratus-ratus ribu tenaga romusha kepada Jepang, walaupun Anda tahu bahwa saudara sebangsa Anda ini tidak akan kembali dalam keadaan hidup?"
Close-up wajah Sukarno yang tampak sedikit kaget dengan pertanyaan itu. Sebelum sempat dijawab gambar berpindah ke tahun 1942. Keadaan genting di sebuah rumah di Bengkulu, tempat Sukarno dan istrinya, Inggit Garnasih diasingkan Belanda. Ada kabar Jepang segera mendarat di Sumatera.
Pejabat dan tentara Belanda datang ke rumah Bung Karno. Mereka memutuskan membawa Bung Karno ke Padang, lalu dari sana akan diberangkatkan ke Australia bersama petinggi Belanda lain.
Agar tidak diketahui Jepang yang sudah di bibir pantai barat Sumatera, Bung Karno dan istrinya, disuruh jalan kaki di dalam hutan menuju Padang. Selama beberapa hari mereka berjalan di dalam hutan dan keluar dari hutan naik bus ke Padang.
Keadaan kota Padang kacau. Banyak orang Belanda yang ketakutan sudah hendak pergi. Bandar udara ramai oleh orang Belanda yang ingin lekas pergi meninggalkan Hindia Belanda, tanah yang mereka sudah jajah tiga abad lebih.
Bung Karno ke bandara, tapi terlambat. Sudah tak ada kapal yang bisa membawanya ke Australia. Ia ditinggalkan pejabat-pejabat Belanda.
Tak lama setelah itu, tepatnya seminggu kemudian, perwira dan serdadu Jepang mendatangi Bung Karno. Terjadi dialog, Sukarno diminta kembali ke Jawa membantu Jepang. ***
Jika mengikuti pola skenario tiga babak, babak pertama film tentang Sukarno yang saya bayangkan di atas berakhir di situ.
Saya sudah mendengar saat ini tengah dibuat film Sukarno yang dibuat sutradara Hanung Bramantyo. Film pertama tentang Sukarno diberi judul Sukarno: Indonesia Merdeka.
Ario Bayu didapuk menjadi Bung Karno. Lukman Sardi jadi Bung Hatta. Maudy Koesnaedi sebagai Inggit Garnasih. Tanta Ginting sebagai Sjahrir. Tika Bravani sebagai Fatmawati.
Dari sinopsis yang saya baca di situs resmi filmsukarno.com dikatakan film dimulai tahun 1929 saat Bung Karno membacakan pembelaannya di pengadilan karena melawan Belanda. Jalan cerita lalu beranjak ke Bengkulu
tahun 1940. Sukarno bertemu Fatmawati. Inggit cemburu. Rumah tangga Bung Karno retak. Bung Karno singgah ke Padang dan akhirnya diminta Jepang kembali ke Jakarta.
Saya kutip dua paragraf cerita selanjutnya dari sinopsis:
"Di Jakarta, Ia (Bung Karno--pen) sering memberikan orasi-orasi kepada romusha dengan izin dari pihak Jepang. Orasi ini pun sebenernya adalah tak-tik yang di gunakan oleh Jepang untuk mengambil simpati rakyat. Dalam masa ini, Ia serta tokoh-tokoh lainnya terlibat aktif dalam BPUPKI dan PPKI.
"Peta perpolitikan dunia berubah setelah bom di jatuhkan oleh Amerika di Hiroshima dan Nagasaki. Jepang menjadi pihak yang tidak diuntungkan dalam kejadian ini, sehingga pemerintahan Jepang di Indonesia pun bergejolak. Kaum pemuda berinisiatif untuk mengambil langkah dalam upaya mempercepat kemerdekaan Indonesia. Sampai akhirnya terjadilah peristiwa yang menjadi awal lahirnya bangsa Indonesia. Dengan dibacakannya teks proklamasi oleh Sukarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, maka lahirlah bangsa Indonesia, bangsa yang merdeka."
Kalau dibaca dari jalan ceritanya, film Sukarno pertama rasa Hanung akan berwujud kisah biopic yang linear dari saat Sukarno sebagai pejuang pergerakan di akhir 1920-an hingga saat Bung Karno membacakan teks proklamasi.
Namun, maaf saja, bukan biopic semacam itu yang ingin saya saksikan. Kisah linear dari kehidupan Bung Karno rasanya sudah sering dikisahkan dalam buku-buku sejarah. Saya ingin melihat film Sukarno yang tak sekadar memvisualkan apa yang sudah tersaji di buku-buku.
Saya ingin menonton film Sukarno yang lain.
***
Film Sukarno seperti apa? Mari tengok film lain dulu. Tengoklah film Lincoln yang dibuat Steven Spielberg.
Yang sudah menontonnya tentu tahu Lincoln bukanlah kisah biopic kehidupan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln. Lincoln versi Spielberg, dengan Daniel Day Lewis sebagai Presiden Linclon, mengambil momen krusial dalam masa pemerintahan sang presiden. Yakni ketika Lincoln ingin menggolkan Amandemen UUD yang bakal menghapus perbudakan.
Konflik bercerita seputar Amerika yang sudah letih dikecamuk Perang Saudara Utara lawan Selatan. Di lain pihak Lincoln dan bawahannya memainkan intrik politik khas masa itu agar usulan amandemen disahkan parlemen.
Tengok juga film lain. Tjoet Nja Dhien (1986) yang disutradarai Eros Djarot, misalnya. Filmnya tak berkisah tentang pejuang perempuan Aceh itu dari kecil, melainkan di saat ia mengambil alih pimpinan perang gerilya, hingga
tak kenal letih berperang sampai nyaris buta. Pengawalnya yang kasihan lalu memberi tahu tempat Tjoet Nja bersembunyi.
Dua film yang saya sebut di atas tak berwujud biopic linear kisah hidup seorang tokoh besar dari kecil hingga tua, tapi mengambil momen kunci dalam hidup sang tokoh.
Pun di film pertama tentang Sukarno, saya ingin menonton film yang mengisahkan satu momen krusial dalam hidupnya. Yakni saat Bung Karno berada di bawah bendera Jepang.
Seperti saya bayangkan dalam momen di awal tulisan ini, di bukunya Cindy Adams bercerita butuh waktu beberapa minggu hingga ia berhasil membujuk Sukarno membicarakan topik tersebut.
Menarik dikulik kenapa Bung Karno sampai begitu rupa menghindari bicara topik itu. Adakah yang ia sembunyikan? Apakah ia ingin melupakan apa yang dilakukannya dulu? Apakah ia merasa bersalah pada keputusannya semasa Jepang berkuasa?
Tapi, pertama-tama, memangnya apa sih yang dilakukan Sukarno di masa penjajahan Jepang dahulu?
***
Anda mungkin sering lihat potongan gambar Sukarno tengah minum bersama orang-orang Jepang atau gambar lain saat Sukarno membungkuk memberi hormat pada orang Jepang.
Siaran TV kita sering dengan gegabah memutar rekaman itu, tanpa sebelumnya memberi konteks menjelaskan apa sebetulnya potongan gambar itu, maupun darimana dan film apa asalnya.
Gambar Sukarno di dua potongan gambar tersebut diambil dari film propaganda yang dibuat Jepang. Waktu itu, Sukarno memang tengah dekat dengan Jepang. Istilahnya, Bung Karno adalah kolaborator Jepang. Ada juga yang menganggapnya sebagai boneka Jepang.
Sebagai tokoh populer, Bung Karno dibutuhkan Jepang. Anda harus ingat konteks masa itu. Jepang awalnya tak dianggap penjajah. Ia "Saudara Tua" orang Asia yang membebaskan Nusantara dari Belanda. Tentu, alasan Jepang sebenarnya untuk menduduki wilayah Asia Tenggara yang kaya akan
sumber daya alam dan manusia, demi membiayai perang mereka lawan Sekutu.
Demi merebut hati rakyat wilayah pendudukan, Jepang membutuhkan pemimpin lokal agar rakyat rela turut serta membantu Jepang memenangkan perang. Di China, misalnya, Jepang mendirikan negara boneka Manchukuo dengan Pu Yi, kaisar terakhir China, sebagai pemimpinnya (Anda bisa nonton The Last Emperor untuk tahu bagian kisah hidup Pu Yi yang ini). Hal yang sama juga terjadi di negeri Asia lain. Ketika Jepang masuk Filipina, beberapa pemimpinnya bekerja sama dengan Jepang.
Bung Karno bersama pemimpin yang lain (Hatta) akhirnya memutuskan bekerja sama dengan Jepang. Bentuk kerjasama dengan Jepang di masa itu rupanya ada yang disesalkan Bung Karno, dan mungkin ingin sekali
dilupakannya. Ia enggan mengungkitnya lagi.
Di masa pendudukan Jepang, Bung Karno menjadi bintang film propaganda Jepang. Setiap bulan Jepang merilis dua film berita dan film "budaya" yang isinya melulu propaganda.
Bung Karno sendiri, seperti ditulis sejarawan Jepang Aiko Kurosawa di edisi khusus Kompas 100 Tahun Bung Karno, 1 Juni 2001, dimasukkan hampir tiap bulan, baik dalam film berita maupun film budaya. Dalam film-film itu ia menyampaikan pidato yang cukup panjang. Suara dan wajah Bung Karno ditayangkan dan tersebar ke seluruh Pulau Jawa.
Filmnya diputar tidak hanya di gedung bioskop di kota, tetapi juga dibawa ke seluruh pelosok, diputar di lapangan. Rakyat diajak nonton gratis. Lewat film-film Jepang itu pula, rakyat mulai kenal wajah dan suara Sukarno.
***
Apa yang disampaikan Bung Karno lewat propaganda-propaganda Jepang?
Anda pernah dengar slogan Bung Karno yang populer "Amerika kita setrika, Inggris kita linggis"? Kita kini lebih sering memakai slogan itu sebagai contoh perlawanan Sukarno pada kekuatan asing. Slogan itu sering dipakai jadi contoh pemimpin kita dahulu, sang pendiri bangsa, tak takut pada kekuatan asing (baca: Barat).
Padahal kalimatnya yang lebih panjang berbunyi begini, saya kutip dari tulisan Aiko Kurosawa:
"Saudara-saudara, musuh kita yang terbesar yang selalu
merusakkan keselamatan dan kesejahteraan Asia dan juga
merusakkan keselamatan dan kesejahteraan Indonesia ialah
Amerika dan Inggris. Oleh karena itu di dalam peperangan
Asia Timur Raya ini, maka segenap kita punya kemauan,
segenap kita punya tekad harus kita tujukan kepada hancur
leburnya Amerika dan Inggris itu. Selama kekuasaan dan
kekuatan Amerika belum hancur-lebur, maka Asia dan
Indonesia tidak bisa selamat.
"Hancurkan kekuasaan Inggris. Amerika kita setrika,
Inggris kita linggis!" (ulang tiga kali) (Jawa News, No 2, April 1943.)
Itulah. Aslinya, Bung Karno menyampaikan slogan itu di masa Perang Dunia II tengah berkecamuk. Sekutu yang diwakili Amerika dan Inggris menjadi lawan Jepang di front pertempuran Asia. Maka wajar sebagai orang yang tengah bekerja untuk Jepang waktu itu, Sukarno membakar semangat
rakyat dengan pidatonya untuk membenci Amerika dan Inggris.
Isi pidato Bung Karno di masa penjajahan Jepang tak hanya berisi menyulut kebencian rakyat pada negara Barat. Jepang sadar Sukarno sosok kharismatik yang juga handal erpidato. Jepang terutama meminta Sukarno rakyat Indonesia membantu agar menang perang. Salah satunya
dengan mengajak rakyat terlibat bekerja untuk Jepang. Kini kita mengenal sistem kerja itu dengan istilah romusha.Adalah sebuah fakta sejarah Sukarno ikut punya andil menggiring rakyatnya sendiri jadi romusha.
Saya membayangkan adegan dari sebuah foto Sukarno yang terkenal. Adegan itu memperlihatkan Bung Karno terlihat sebagai seorang contoh romusha ideal. Ia bercelana pendek, bertopi anyaman, sambil memegang alat yang biasa dipakai tukang bangunan. Tampak Sukarno menunjuk memberi perintah.
Di latar belakangnya ribuan romusha sedang bekerja di sebuah perbukitan. Serdadu Jepang dengan senjata laras panjang mondar-mandir memandori romusha.
Saya membayangkan Bung Karno berpidato waktu itu: "Marilah kita bersama-sama agar supaya lekas tercapai cita-cita kita bersama, yaitu Asia Raya."
Bung Karno tak cuma berperan mengajak rakyat jadi romusha. Di buku biografi Soekarno, 1901-1950 (edisi Indonesia terbit 2001) yang ditulis Lambert Giebels diceritakan, sekembali di Padang, Jepang memberi Bung Karno sukiyaki dan mobil Buck. Pemberian itu ternyata tidak cuma-cuma.
Pejabat Jepang yang menghadiahinya memerintahkan agar Bung Karno membuka pikiran "saudara-saudaranya yang keras kepala" di Padang bahwa kalau mereka tidak bersedia memasok beras kepada pasukan pendudukan Jepang dengan cara baik-baik, mereka akan mengambilnya dengan kekerasan.
Di bagian lain, Sukarno juga diminta mengurus kebutuhan seksual serdadu Jepang yang meluap-luap, yang suka mengganggu para wanita dan gadis Padang. Ditulis Giebels di bukunya, Sukarno menyelesaikan persoalan ini dengan mengerahkan beberapa ratus pelacur dan menyuruh mereka tinggal di satu tempat, dan tentara Jepang dapat mengunjungi mereka engan menunjukkan semacam kartu langganan yang harus dibeli dengan harga tertentu.
Kita sekarang mengenal istilah jugun ianfu, budak seks zaman Jepang. Tak banyak yang tahu Sukarno ternyata juga ikut berperan menciptakan sistem itu.
***
Saya ingin menyaksikan film Sukarno yang mengangkat sisi manusiawinya. Saya ingin melihat apa Sukarno seorang kolaborator Jepang murni atau ini taktiknya. Saya ingin melihat lewat dialog di film pertentangan di antara
pendiri bangsa dahulu, bagaimana menentukan sikap pada Jepang yang datang menjajah. Terutama sih, saya ingin melihat pandangan Bung Karno terhadap Jepang maupun dilema batinnya. Saya juga ingin melihat sikap Bung Karno yang semula percaya kepada kebaikan hati Jepang negeri Indonesia akan diberi kemerdekaan, hingga ia mau bekerja membantu Jepang, tapi lambat laun muncul kekecewaan Jepang ternyata hanya memberi harapan palsu.
Pertentangan dilematis dalam sosok Bung Karno di masa itu pasti menarik ketika divisualkan. Sebab yang muncul adalah sisi yang tak banyak diketahui orang. Manusia Sukarno pernah pula tergelincir dalam kesalahan. Ia bukan sosok dewa ataupun malaikat yang tak pernah salah. Saya ingin melihat film tentang Bung Karno dan konflik batinnya. Saya ingin melihat bagaimana Bung Karno menyesal telah menjadi kolaborator Jepang, melihat rakyatnya sendiri menderita jadi romusha dan jugun ianfu.
Film juga sedikit menggambarkan situasi genting saat Jepang usai dibom atom Sekutu. Peran Jepang dalam menyusun naskah proklamasi dan terutama sikap Sukarno pada campur tangan Jepang jelang pembacaan proklamasi. Ada momen saat Sukarno membacakan proklamasi. Berganti gambar saat kabar kemerdekaan disampaikan ke pelosok negeri. Rakyat
bersorak.
***
Gambar lalu kembali pada momen Bung Karno dengan Cindy Adams, wartawan Amerika yang tengah mewawancarainya, di teras atau bisa juga di pekarangan istana yang asri.
Kepada Cindy yang sedang menulis biografinya, Bung Karno berujar begini ketika ditanya tentang perannya menggalang rakyat jadi romusha: "Kalau saya bisa mengorbankan beribu-ribu orang agar bisa menyelamatkan berjuta-juta, maka itu akan saya lakukan ..."
Saya membayangkan, setelah berkata itu Bung Karno pergi meninggalkan Cindy, mungkin menuju mobil lalu kamera menyorot mobil meninggalkan istana dengan sudut wide-angle. Bisa juga Bung Karno masuk ke istana, meninggalkan Cindy di taman. Kamera lalu menyorot Cindy hingga
kelihatan atap istana.
Layar menghitam. Muncul keterangan jumlah romusha yang tewas. Juga jumlah wanita yang menjadi jugun ianfu.
Film selesai. Tidak seperti film kebanyakan, di ujung film baru muncul judulnya.
Saya membayangkan judulnya "SUKARNO, DOKURITSU". Dokuritsu adalah bahasa Jepang untuk "merdeka." Lalu muncul nama sutradara, kemudian deretan pemain dan kru.
Saya ingin melihat film tentang Sukarno yang seperti itu.***
BAHAN BACAAN:
Aiko Kurosawa, "Bung Karno di Bawah Bendera Jepang,"
Kompas, 1 Juni 2001.
Daniel Dhakidae, "Satu Abad Bersama Nusantara dan
Nusantara Bersama Soekarno", Kompas, 1 Juni 2001.
"Lambert Giebels: 'Sukarno Bersalah dalam Soal Romusha'",
Tempo, 10 Juni 2001.
"Yang Pertama dari Giebels", Tempo, 10 Juni 2001.
http://www.tabloidbintang.com (ade/ade)
0 Response to ""Film Tentang Sukarno yang Ingin Saya Saksikan""
Posting Komentar